Beranda | Artikel
Kaedah Fikih Memahami Hukum Vaksinasi
Minggu, 11 Agustus 2013

Setelah kita tahu akan haramnya babi, bahkan seluruh bagian tubuhnya itu haram, bukan hanya dagingnya, maka kita beralih ke masalah vaksinasi yang saat ini dipermasalahkan oleh sebagian kalangan karena mengandung unsur babi di dalamnya. Sehingga enggan mengkonsumsinya ketika ingin divaksin untuk haji, bahkan menentang keras di tengah orang banyak. Sebelum memahami masalah hukum vaksinasi ini, perlu kiranya kita mengenal beberapa kaedah dalam ilmu fikih.

 

Memahami kaedah pertama: Istihalah

Istihalah secara bahasa memiliki dua makna. Salah satu maknanya adalah,

تغيّر الشّيء عن طبعه ووصفه

“Berubahnya sesuatu dari tabi’at asal atau sifatnya yang awal.”

Yang termasuk dalam istihalah adalah berubahnya sesuatu yang najis. Istihalah atau perubahan tadi bisa terjadi pada kondisi apa saja? Istihalah bisa terjadi pada ‘ain (zat) najis, seperti kotoran, khomr (bagi yang mengatakannya najis), dan babi. Istihalah bisa terjadi pula pada ‘ain (zat) najis yang berubah sifat-sifatnya. Bisa jadi dia berubah karena dibakar atau karena berubah menjadi cuka. Atau mungkin perubahan itu terjadi karena ada sesuatu yang suci yang bercampur dengannya. Seperti contohnya babi yang najis yang jatuh dalam garam, akhirnya menjadi garam.

Para ulama telah menyepakati bahwa apabila khomr berubah menjadi cuka dengan sendirinya (karena dibiarkan begitu saja), maka khomr tersebut menjadi suci. Namun para ulama berselisih jika khomr tadi berubah menjadi cuka melalui suatu proses tertentu.

Adapun untuk najis yang lainnya, apabila ia berubah dari bentuk asalnya, maka para ulama berselisih akan sucinya.[1]

Ulama Hanafiyah dan Malikiyah, juga menjadi salah satu pendapat Imam Ahmad, menyatakan bahwa najis pada ‘ain (zat) dapat suci dengan istihalah. Jika najis sudah menjadi abu, maka tidak dikatakan najis lagi. Garam (yang sudah berubah) tidak dikatakan najis lagi walaupun sebelumnya berasal dari keledai, babi atau selainnya yang najis. Begitu pula dianggap suci jika najis jatuh ke sumur dan berubah jadi tanah. Misal yang lain, khomr ketika berubah menjadi cuka baik dengan sendirinya atau dengan proses tertentu dari manusia atau cara lainnya, maka itu juga dikatakan suci. Hal ini semua dikarenakan zat yang tadi ada sudah berubah. Aturan Islam pun menetapkan bahwa sifat najis jika telah hilang, maka sudah dikatakan tidak najis lagi (sudah suci).

Jadi jika tulang dan daging berubah menjadi garam, maka yang dihukumi sekarang adalah garamnya. Garam tentu saja berbeda statusnya dengan tulang dan daging tadi.

Perkara semisal ini amatlah banyak. Intinya, istihalah pada zat terjadi jika sifat-sifat najis yang ada itu hilang.

Adapun ulama Syafi’iyah dan pendapat ulama Hambali yang lebih kuat, najis ‘ain (zat) tidaklah dapat suci dengan cara istihalah. Jika anjing atau selainnya dilempar dalam garam, akhirnya mati dan jadi garam, maka tetap dihukumi najis. Begitu pula jika ada uap yang berasal dari api yang bahannya najis, lalu uap itu mengembun, maka tetap dihukumi najis.

Dikecualikan dalam masalah ini adalah untuk khomr, yaitu khomr yang berubah menjadi cuka dengan sendirinya, tidak ada campur tangan. Cuka yang berasal dari khomr seperti itu dianggap suci. Alasan najisnya khomr tadi adalah karena memabukkan. Saat jadi cuka tentu tidak memabukkan lagi, maka dari itu dihukumi suci. Hal ini telah menjadi ijma’ (kesepakatan para ulama).

Adapun jika khomr berubah menjadi cuka dengan proses tertentu misalnya ada gas yg masuk, maka ketika itu tidaklah suci.[2]

Dari perselisihan di atas, pendapat yang rojih (kuat) dalam masalah ini adalah yang menyatakan bahwa suatu zat yang najis yang berubah (dengan istihalah) menjadi zat lain yang baru, dihukumi suci.

Di antara alasannya adalah karena hukum itu berputar pada ‘illah-nya (alasan atau sebab). Jika ‘illah itu ada, maka hukum itu ada. Jika sifat-sifat najis telah hilang, maka hukum najis itu sudah tidak ada. Demikianlah yang dijelaskan dalam kaedah ushuliyah,

الحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ ثُبُوْتًا وَعَدَمًا.

Hukum itu berputar pada ‘illahnya. Jika ‘illah itu ada, maka hukum itu ada. Begitu sebaliknya jika ‘illah itu tidak ada, maka hukum itu tidak ada.

Pendapat inilah yang lebih tepat, apalagi diterapkan di zaman saat ini. Kita masih ingat bahwa minyak bumi itu asalnya dari bangkai hewan yang terpendam ribuan tahun. Padahal bangkai itu jelas najis. Jika kita katakan minyak bumi, itu najis karena berpegang pada pendapat Syafi’iyah dan Hambali, maka jadi problema untuk saat ini.

Jika seseorang memahami kaedah istihalah  ini, ia akan tahu bagaimanakah menghukumi suatu najis apabila najis tersebut sudah berubah menjadi benda lain yang tidak nampak lagi atsar-atsarnya (bekas-bekasnya).

 

Memahami kaedah kedua: Istihlak

Yang dimaksud dengan istihlak adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lainnya yang suci dan halal yang jumlahnya lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan keharaman benda yang sebelumnya najis, baik rasa, warna dan baunya.

Apakah benda najis yang terkalahkan oleh benda suci tersebut menjadi suci? Pendapat yang benar adalah bisa menjadi suci.

Alasannya adalah dua dalil berikut.

Hadits pertama: Dari Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

Air itu suci, tidak ada yang dapat menajiskannya.”[3]

Hadits kedua: Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا كَانَ اَلْمَاءَ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ

Jika air telah mencapai dua qullah[4], maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis).”[5]

Dua hadits di atas menjelaskan bahwa apabila benda yang najis atau haram bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakan warna atau baunya, maka dia menjadi suci.

Jadi suatu saat air yang najis bisa berubah menjadi suci jika bercampur dengan air suci yang banyak. Tidak mungkin air yang najis selamanya berada dalam keadaan najis tanpa perubahan. Tepatlah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Siapa saja yang mau merenungkan dalil-dalil yang telah disepakati dan memahami rahasia hukum syari’at, niscaya akan jelas baginya bahwa pendapat inilah yang lebih tepat. Sangat tidak mungkin ada air atau benda cair yang tidak mungkin mengalami perubahan menjadi suci (tetap najis). Ini sungguh bertentangan dengan dalil dan akal sehat. Jika ada yang menganggap bahwa hukum najis itu tetap ada padahal (sifat-sifat) najis telah dihilangkan dengan cairan atau yang lainnya, maka ini sungguh jauh dari tuntutan dalil dan bertentangan dengan qiyas yang bisa digunakan.”[6]

 

Memahami kaedah ketiga: Darurat membolehkan yang haram

Kaedah ini dibawakan di antaranya oleh Ibnu Nujaim dalam Al Asybah wan Nazhoir. Beliau menyebutkan kaedah,

الضرورات تبيح المحظورات

“Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang terlarang.”[7]

Contoh penerapan kaedah di atas, dibolehkannya memakan bangkai bagi ornag yang dalam keadaan darurat. Sebagaimana disebutkan dalam ayat yang telah lewat,

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah: 173).

Namun kaedah di atas memiliki syarat yang harus dipenuhi tidak sekedar mendapati bahaya, lantas menerjang yang haram. Beberapa syarat yang mesti dipenuhi:

1- Yakin akan memperoleh dhoror (bahaya), bukan hanya sekedar sangkaan atau yang nantinya terjadi. Jadi, seseorang tidak boleh mengonsumsi bangkai sebelum dhoror (bahaya) itu terjadi, yaitu dalam keadaan khawatir binasa atau bisa celaka karena rasa lapar yang sangat.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

الضَّرُورَةَ أَمْرٌ مُعْتَبَرٌ بِوُجُودِ حَقِيقَتِهِ ، لَا يُكْتَفَى فِيهِ بِالْمَظِنَّةِ ، بَلْ مَتَى وُجِدَتْ الضَّرُورَةُ أَبَاحَتْ ، سَوَاءٌ وُجِدَتْ الْمَظِنَّةُ أَوْ لَمْ تُوجَدْ ، وَمَتَى انْتَفَتْ ، لَمْ يُبَحْ الْأَكْلُ لِوُجُودِ مَظِنَّتِهَا بِحَالٍ

“Keadaan darurat baru teranggap ada jika sudah benar-benar ditemui. Jadi tidak cukup dengan hanya sangkaan. Jika ditemukan keadaan darurat, maka dibolehkanlah yang haram, baik ada sangkaan ataukah tidak. Ketika keadaan darurat telah hilang, maka tidak dibolehkan kembali mengonsumsi yang haram walau dengan suatu sangkaan kala itu.”[8]

2- Dipastikan bahwa dengan melakukan yang haram dapat menghilangkan dhoror (bahaya). Jika tidak bisa dipastikan demikian, maka tidak boleh seenaknya menerjang yang haram. Contoh: Ada yang haus dan ingin minum khomr. Perlu diketahui bahwa khomr itu tidak bisa menghilangkan rasa haus. Sehingga meminum khomr tidak bisa dijadikan alasan untuk menghilangkan dhoror (bahaya).

3- Tidak ada jalan lain kecuali dengan menerjang larangan demi hilangnya dhoror. Contoh: Ada wanita yang sakit, ada dokter perempuan dan dokter laki-laki. Selama ada dokter wanita, maka tidak bisa beralih pada dokter laki-laki. Karena saat itu bukan darurat.

3- Haram yang diterjang lebih ringan dari bahaya yang akan menimpa.

5- Sesuatu yang haram yang dikonsumsi saat darurat diambil sekadarnya. Jika darurat sudah hilang, maka tidak boleh mengonsumsinya lagi. Maka para ulama membuat kaedah lagi dalam masalah ini,

ما أبيح للضرورة يقدر بقدرها

Sesuatu yang dibolehkan karena keadaan darurat, maka dikonsumsi sekadarnya saja.[9] Kaedah ini adalah maksud ayat,

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ

Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (QS. Al Baqarah: 173). Kata Ibnu Nujaim, orang yang makan bangkai dalam keadaan darurat hanya mengonsumsi sekadar untuk mempertahankan hidup saja.[10].[11]

Dari kaedah darurat ini beberapa permasalahan kontemporer bisa masuk di dalamnya dengan tetap memperhatikan syarat-syarat yang telah disampaikan di atas:

1- Dibolehkannya berobat dengan yang najis jika tidak didapati sesuatu yang suci. Alasannya, karena maslahat menyelamatkan jiwa lebih didahulukan dari maslahat menjauhi yang najis.

2- Boleh membelah kandungan (melakukan operasi sesar) pada perut ibu jika memang sulit melahirkan karena menjaga keselamatan janin lebih utama daripada menjaga kehormatan ibu.[12]

Masih bersambung insya Allah tentang Fakta Sebenarnya Tentang Vaksinasi, dan jangan lewatkan tulisan sebelumnya “Hikmah Diharamkannya Babi“. Moga bermanfaat.

Pagi hari, 5 Syawal 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul

Artikel Rumaysho.Com

 

Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoComFB Muhammad Abduh Tuasikal danFB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat

 


[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,3: 213-214.

[2] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 10: 278-279.

[3] HR. Abu Daud no. 66, Tirmidzi no. 66, An Nasai no. 327 dan Ahmad 3: 31. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.

[4] Air dua qullah adalah air seukuran 500 rithl ‘Iraqi yang seukuran 90 mitsqol. Jika disetarakan dengan ukuran sho’, dua qullah sama dengan 93,75 sho’ (Lihat Tawdhihul Ahkam, 1: 116).

Sedangkan 1 sho’ seukuran 2,5 atau 3 kg. Jika massa jenis air adalah 1 kg/liter dan 1 sho’ kira-kira seukuran 2,5 kg; berarti ukuran dua qullah adalah 93,75 x 2,5 = 234,375 liter. Jadi, ukuran air dua qullah adalah ukuran sekitar 200 liter. Gambaran riilnya adalah air yang terisi penuh pada bak yang berukuran 1 m x 1m x 0,2 m.

[5] HR. Abu Daud no. 63, An Nasai no. 52. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Para ulama berselisih pendapat mengenai keshahihan hadits air dua qullah. Sebagian ulama menilai bahwa hadits tersebut mudhthorib (termasuk dalam golongan hadits dho’if/lemah) baik secara sanad maupun matan (isi hadits). Namun ulama hadits abad ini, yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini shahih. Beliau rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ad Darimi, Ath Thohawiy, Ad Daruquthniy, Al Hakim, Al Baihaqi, Ath Thoyalisiy dengan sanad yang shohih. Hadits ini juga telah dishohihkan oleh Ath Thohawiy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim, Adz Dzahabiy, An Nawawiy dan Ibnu Hajar Al ‘Asqolaniy. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Mayoritas pakar hadits menyatakan bahwa hadits ini hasan dan berhujah dengan hadits ini. Mereka telah memberikan sanggahan kepada orang yang mencela (melemahkan) hadits ini.” (Disarikan dari Tawdhihul Ahkam, 1: 116)

[6] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 21: 508.

[7] Al Asybah wan Nazhoir, hal. 107.

[8] Al Mughni, 13: 332-333.

[9] Idem.

[10] Idem.

[11] Syarh Al Manzhumatus Sa’diyah, hal. 71-72 dan Al Haram fii Asy Syari’ah Al Islamiyah, hal. 174-176.

[12] Al Haram fii Asy Syari’ah Al Islamiyah, hal. 179.


Artikel asli: https://rumaysho.com/3541-kaedah-fikih-memahami-hukum-vaksinasi.html